Laman

Rabu, 15 Februari 2012

Peta Desa Ngadirojo Lor


Data Desa se - Kecamatan Ngadirojo Tahun 2012


Selasa, 14 Februari 2012

Desa Ngadirojo Lor

Ngadirojo Lor adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia.

Batas Desa
Utara :Kelurahan Mlokomanis Kulon
Selatan :Desa Ngadirojo Kidul
Barat :Kecamatan Wonogiri
Timur :Desa Mlokomanis Wetan

Pembagian administratif
Ngadirojo Lor terbagi atas 10 dusun, 10 rukun warga, dan 27 rukun tetangga. Berikut adalah daftar dusun di Ngadirojo Lor:
1. Brono
2. Brubuh
3. Dungsari
4. Gading
5. Mojorejo
6. Nglarangan
7. Pagersari
8. Primbon
9. Pundung
10. Sepang

Peta Desa Ngadirojo Kidul


Senin, 13 Februari 2012

Peta Desa Kerjo Kidul


Peta Desa Kerjo Lor


Minggu, 12 Februari 2012

Peta Desa Jatimarto


Peta Desa Pondok


Peta Desa Mlokomanis Wetan


Peta Desa Gemawang


Sabtu, 11 Februari 2012

Peta Kelurahan Kasihan


Jumat, 10 Februari 2012

Peta Kelurahan Mlokomanis Kulon


Kamis, 09 Februari 2012

Pelayanan Masyarakat Di Desa Ngadirojo Lor

PELAYANAN PERMOHONAN KARTU TANDA PENDUDUK ( KTP )
----Kartu Tanda Penduduk ( KTP ) adalah identitas yang wajib dimiliki oleh setiap warga masyarakat Desa Ngadirojo Lor, KTP yang berlaku adalah KTP Nasional
Persyaratan pelayanan Cetak KTP :
  1. Asli Warga Desa Ngadirojo Lor yang harus dibuktikan dengan Kartu keluarga
  2. Minimal sudah berumur 17 Tahun
  3. Membawa surat pengantar dari Ketua RT setempat yang disyahkan Ketua RW setempat dan diketahui Kepala Dusun setempat
  4. Membawa Foto Copy Kartu Keluarga
  5. Pas Foto 3 x 4 __1 Lmbr......backround biru untuk pemohon yang lahir pada Tahun genap, dan bacground merah untuk pemohon yang lahir pada Tahun ganjil
  6. Mengisi data diri di Kantor Desa Ngadirojo Lor
  7. Menuju kecamatan Ngadirojo untuk proses cetak KTP
PELAYANAN PERMOHONAN KARTU KELUARGA
( KK )
____Kartu Keluarga ( KK ) adalah Kartu Identitas untuk 1 Kelurga, setiap warga masyarakat Desa Ngadirojo Lor harus mempunyai sebuah Kartu keluarga Nasional yang berisi Data Anggota keluarga, dan sebagai acuan untuk kepengurusan data KTP, Akta Kelahiran dll
Persyaratan Permohonan Kartu Keluarga :
  1. Asli Warga Desa Ngadirojo Lor yang harus dibuktikan dengan Kartu keluarga
  2. Membawa surat pengantar dari Ketua RT setempat yang disyahkan Ketua RW setempat dan diketahui Kepala Dusun setempat
  3. Warga Pindah Datang harus dibuktikan dengan surat pindah dari daerah asal
  4. Mengisi form KK yang disediakan Kantor Desa Ngadirojo Lor
  5. Membawa data dukung untuk pengisian data keluarga
  • Foto copy Surat Nikah ( Bagi yang sudah menikah )
  • Foto Copy Ijasah Terakhir
  • Foto copy Akta Kelahiran ( Semua Anggota keluarga )
     6. Menuju Kantor Camat Ngadirojo untuk proses cetak Kartu Keluarga
PELAYANAN PERMOHONAN AKTA KELAHIRAN
_____Pelayanan Akta kelahiran pada Dinas kependudukan dan Catatan Sipil KAbupaten Wonogiri ada 3 Proses
  • Proses permohonan Akta kelahiran Lahir Baru ( Max 60 Hari Kerja dari tanggal Kelahiran)
  • Proses permohonan Akta Kelahiran Dispensasi ( Untuk pemohon dengan kelahiran max Desember 2006 )
  • Proses permohonan Akta Kelahiran Terlambat Pencatatan - Sidang pengadilan Agama ( untuk pemohon kelahiran 1 jan 2007 s/d 1 Tahun keterlambatan dari kelahiran )

Persyaratan permohonan pengantar Akta Kelahiran :
  1. Membawa surat pengantar dari Ketua RT setempat yang disyahkan Ketua RW setempat dan diketahui Kepala Dusun setempat
  2. Membawa :
  • Foto Copy data pemohon,
  • Foto Copy Surat Nikah Orang Tua yang dilegalisir KUA tempat Nikah
  • Foto Copy Ijazah terakhir
  • Foto Copy kartu Keluarga
  • Foto Copy KTP bagi yang berumur 17 Tahun
  • Foto Copy KTP 2 Orang tua bagi yang belum berumur 21 tahun
  • Foto Copy 2 Orang saksi lahir
  • Struk Kelahiran ( Asli )
      3. Permohonan pengantar dari Desa Ngadirojo Lor
      4. Pendaftaran perabot di kantor Camat Ngadirojo
      5. Pendaftaran Perabot dan proses cetak Akta Kelahiran di DISPENDUK CAPIL KAB WNG


Rabu, 08 Februari 2012

Mari Berkenalan Dengan Agribisnis

Agribisnis pada mulanya diartikan secara sempit, yaitu menyangkut subsektor masukan (input) dan subsektor produksi (on farm).

Pada perkembangan selanjutnya agribisnis didefinisikan secara luas dan tidak hanya menyangkut subsektor masukan dan produksi tetapi juga menyangkut subsektor pascaproduksi, meliputi pemrosesan, penyebaran, dan penjualan produk.

Dengan demikian agribisnis peternakan merupakan kegiatan usaha yang terkait dengan subsektor peternakan, mulai dari penyediaan sarana produksi, proses produksi (budidaya), penanganan pasca panen, pengolahan, sampai pemasaran produk ke konsumen.
Agribisnis merupakan suatu sektor ekonomi modern dan besar dari pertanian primer yang mencakup paling sedikit empat subsistem, yaitu (1) Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan dan memperdagangkan sarana produksi pertanian primer (seperti industri pupuk, obat-obatan, benih atau bibit, alat dan mesin pertanian, dan lain sebagainya. (2) Subsistem usahatani (on-farm agribusiness) yang dimasa lalu disebut sistem pertanian primer; (3) Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik dalam bentuk yang siap untuk dimasak atau siap saji (ready to cook/ready to used) atau siap untuk dikonsumsi (ready to eat) beserta kegiatan perdagangannya di pasar domestik dan internasional; (4) Subsistem jasa layanan pendukung seperti perkereditan, asuransi, transportasi, pergudangan, penyuluhan, kebijakan pemerintah, dan lain-lain.
Keempat subsistem tersebut saling terkait dan saling menentukan. Subsistem usahatani memerlukan input dari subsistem agribisnis hulu. Sebaliknya subsistem agribisnis hulu memerlukan subsistem usahatani sebagai pasar produknya. Subsistem agribisnis hilir memerlukan bahan baku untuk diolah dan diperdagangkan dari subsistem usahatani. Ketiga subsistem di atas memerlukan subsistem jasa layanan pendukung untuk memperlancar aktivitasnya.
Dalam subsektor peternakan, subsistem hulu meliputi industri bibit ternak, pakan ternak, obat-obatan dan vaksin ternak, serta alat-alat dan mesin peternakan (alsinnak). Berdasarkan jenis outputnya, subsistem usahatani dapat digolongkan menjadi usaha ternak perah, usaha ternak potong/pedaging, usaha ayam petelur, dan lain-lain.
Subsistem agribisnis hilir meliputi usaha pemotongan hewan, industry susu, industry pengalengan daging, industri telur asin, industri kulit, restaurant dan lain sebagainya. Subsistem institusi penunjang meliputi lembaga penelitian pemerintah, penyuluhan, lembaga keuangan, kesehatan hewan dan lain-lain.
Di dalam sistem agribisnis peternakan, subsistem agribisnis hulu dan hilir lebih banyak memperoleh nilai tambah dibandingkan dengan subsistem budidaya (usahatani). Bandingkan pendapatan peternak sapi perah dengan pabrik pengolahan susu, peternak sapi potong dengan pabrik pengolahan sosis atau perusahaan pengalengan daging, peternak itik dengan perusahaan telur asin, dan seterusnya. Pendapatan petani dari usahatani hanya 30 % sementara usaha di luar usahataninya (hulu atau hilir) mencapai 70 %. Namun subsistem budidaya merupakan subsistem utama karena produk-produk peternakan yang digunakan oleh konsumen pada dasarnya dihasilkan oleh subsistem ini dan tanpa subsistem ini tidak mungkin ada subsistem agribisnis hulu dan hilir.
**Disarikan dari buku Ekonomi Agribisnis Peternakan (Teori dan Aplikasinya) oleh Prof. Soekardono, Guru Besar Fapet Universitas Mataram.

Selasa, 07 Februari 2012

Wonogiri Terpilih Menjadi Lokasi Lab Site PDT Di Indonesia

Kabupaten Wonogiri ditetapkan sebagai salah satu lokasi Lab Site Pembangunan Desa Terpadu tahun 2011 oleh Kementerian Dalam Negeri RI.

Atas perolehan ini, Wonogiri boleh berbangga, karena merupakan satu diantara 3 Kabupaten se-Indonesia yang ditetapkan sebagai lokasi Lab Site PDT. Dua kabupaten lain adalah Kabupaten Palalawan, Provinsi Riau dan Kabupaten Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Hal itu tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 211-III Tahun 2011 tentang Penetapan Desa dan Kelurahan Lokasi Pembangunan Desa Terpadu (PDT).

Keputusan tersebut dibacakan Kepala Bapermas Kabupaten Wonogiri Semedi Budi Wibowo, SH di sela-sela Pencanangan Lab Site PDT di balai Kecamatan Ngadirojo, Senin (14/11).

Pencanangan tersebut disaksikan Bupati Wonogiri H. Danar Rahmanto dan Tenaga Ahli Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD) Sekretariat PDT Kementerian Dalam Negeri, Abraham Raubun, Ahli Gizi, S.I Kom.

Bupati Danar menjelaskan, lokasi lab site PDT di Wonogiri adalah di Kecamatan Ngadirojo. Di empat Desa terpilih yaitu di Desa Ngadirojo Kidul, Desa Jatimarto, Desa Pondok, dan Desa Gedong.
PDT merupakan sistem pembangunan pertisipatif berbasis masyarakat dan kawasan untuk mendorong terciptanya kemandirian dan kesejahteraan masyarakat.
“Hakekatnya adalah mengembangkan kemampuan dan kemandirian masyarakat, agar dapat mengolah potensi dan sumber daya yang ada di desa masing-masing, sehingga sejahtera,” tambahnya.
Masing-masing Desa Lab Site PDT mendapatkan dana segar Rp.100 juta dari Pemerintah Pusat. Alokasinya Rp.60 juta untuk penguatan kelembagaan, Rp.30 juta untuk sarana prasarana, dan Rp.10 juta untuk operasional. (bagus@infowonogiri.com)

Menuju Industri Pertanian

Oleh Djoko Said Damardjati
Pengembangan agroindustri dilakukan dengan efisiensi usaha baik di tingkat produksi maupun pemasaran, dengan berpijak pada orientasi pada pasar ekspor, berbasis sumber daya lokal, dan pengurangan ketergantungan komponen impor.

Peran sektor ini dalam pertumbuhan ekonomi terbagi menjadi tiga, yakni pemberi nilai tambah dalam GDP, sumbangan devisa melalui ekspor, dan penyerapan tenaga kerja. Namun demikian, pembangunan pertanian di Indonesia belum optimal karena berbagai permasalahan yang dihadapi.Permasalahanan itu yakni respon dari sisi suplai produk agroindustri yang tidak optimal. Padahal permintaan pasar domestik maupun luar negeri semakin meningkat dari tahun ke tahun. Lemahnya respon dari sisi penawaran ini disebabkan oleh terlambatnya modernisasi dan industrialisasi sektor pertanian, utamanya dalam hal penyediaan teknologi dan infrastruktur.

Sektor agroindustri adalah sektor yang mampu memberi nilai tambah bagi produk hasil pertanian. Hal ini dikarenakan agroindustri memiliki keterkaitan langsung dengan pertanian primer, di mana industri inilah yang mengolah produk primer pertanian menjadi barang setengah jadi (intermediate goods) maupun barang konsumsi (final goods). Karena sektor pertanian primer sangat dipengaruhi oleh industri, sistem perdagangan dan distribusi input produksi, maka kinerja pertanian dan industri ini akan sangat mempengaruhi pola pengembangan agroindustri selanjutnya. Kegiatan agroindustri juga juga dipengaruhi oleh lembaga dan infrastruktur pendukung, baik lembaga perbankan, penyuluhan, penelitian dan pengembangan, lingkungan bisnis, dana kebijakan pemerintah. Oleh karenanya, untuk menggerakkan dan mengembangkan agroindustri, harus mengacu pada keseluruhan sistem yang ada.

Secara garis besar, pengembangan agroindustri atau industri pertanian di Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang berkaitan dengan susbsistem agribisnis hulu maupun dalam hal sistem perdagangan bebas produk pertanian olahan. Tantangan di bidang agribisnis hulu meliputi belum terjaminnya kesinambungan pasokan bahan baku berskala industri, rendahnya kualitas pasokan bahan baku, dan belum baiknya zonasi pengembangan wilayah produk primer dengan agroindustri.

Sedang tantangan perokonomian global, agroindustri dihadapkan pada perubahan lingkungan strategis nasional dan internasional. Perubahan lingkungan strategis internasional ditunjukkan oleh adanya penurunan dan bahkan penghapusan subsidi dan proteksi usaha pertanian, perubahan pola permintaan produk pertanian, globalisasi dan liberalisasi perdagangan serta investasi, kompetisi pasar yang semakin ketat, dan adanya krisis ekonomi global. Sedangkan perubahan pada lingkungan strategis domestik ditandai oleh adanya dinamika struktur demografi, perubahan kondisi dan kebijakan makroekonomi, serta adanya dinamika ekspor non migas. Untuk tantangan yang bersifat internal, masih didominasi oleh fakta bahwa usaha pertanian masih diusahakan dalam skala kecil, ekstensif, terpencar-pencar, dan berorientasi subsistem. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap upaya penggerakan dan pengembangan agroindustri.

Berintegrasi dengan pasar global

Dalam sistem perekonomian yang makin mengglobal seperti yang terjadi saat ini, pasar komoditas pertanian menjadi terintegrasi dengan pasar dunia, yang diiringi dengan terjadinya perubahan mendasar pada preferensi konsumen terhadap produk-produk hasil pertanian. Preferensi konsumen berubah dari yang sebelumnya hanya sekadar membeli ’komoditi’ ke arah membeli ’produk’. Dengan demikian, di pasar domestik, persaingan produk primer semakin tak terhindarkan, karena biaya transportasi antar negara menjadi semakin murah, terbukanya investasi asing, serta telah diratifikasinya kesepakatan GATT-Putaran Uruguay dan percepatan pembentukan kawasan perdagangan bebas di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik melalui Asean Free Trade Area (AFTA). Ini disusul dengan adanya perjanjian multilateral Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Konsekuensi dari kesepakatan itu adalah, penggunaan tarif, kuota dan subsidi sebagai instrumen kebjikan yang bersifat memproteksi, tidak dibenarkan lagi dalam era perdagangan bebas.

Kondisi tersebut tentu sangat berpengaruh pada upaya peningkatan permintaan produk pertanian, baik kuantitas, kualitas maupun keragamannya. Kata kuncinya adalah efisiensi dan daya saing. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan agroindustri didasarkan pada keunggulan komparasi wilayah, sehingga tercermin adanya pengembangan industri pertanian wilayah, bahkan pedesaan yang berbasis pada komoditas unggulan. Hal ini dapat dilihat dari upaya pengembangan konsep ’one village one comodity.’ Itulah sebabnya, dalam perencanaan pengembangan agroindustri, harus berbasis pada keterpaduan komoditi, keterpaduan usaha tani, dan keterpaduan wilayah yang dijalankan, yang diaplikasikan dengan berorientasi pada efisiensi ekonomi dan pemanfaatan pasar ekspor.
Strategi program pembangunan agroindustri
Dalam perumusan program pembangunan industri pertanian di Indonesia, tentu tidak semata-mata mengandalkan logika dan teori semata, namun harus pula melihat fakta di lapangan, dan juga berpijak pada pengalaman di masa lalu. Hal ini perlu diperhatikan karena dalam penerapan berbagai teori yang telah diterapkan di masa lalu, ternyata kini menemui jalan buntu. Misalnya strategi meraih swasembada pangan dengan mengerahkan seluruh sumber daya yang ada, ternyata dalam jangka panjang justru menimbulkan ketegantungan yang tinggi pada komoditi beras, dan menghambat diversifikasi pangan. Pembangunan industri pertanian yang telah dilakukan ternyata juga tidak mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di pedesaan. Sejak 30 tahun lalu hingga kini, ternyata porsi penduduk miskin yang berasal dari sektor pertanian tidak berubah secara nyata.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa petani Indonesia pada umumnya masih bersifat sub sistem. Demikian juga pembangunan pertaniannya, juga merupakan pembangunan subsistem. Hal ini disebabkan pembangunan pertanian baru sekadar mampu memenuhi kebutuhan dasar pangan, belum mampu memberi nilai tambah untuk memperbaiki kesejahteraan petani. Oleh karena itu, untuk membangun industri pertanian yang efisien dan berdaya saing tinggi, maka alur penyusunan program pengembangannya dengan memperhatikan tentang bagaimaan upaya menggeser pasar utama produk agroindustri, dari pasar dalam negeri, menuju pasar ekspor. Pengembangan agroindustri juga harus berbasis pada sumber daya lokal, dan mengurangi ketergantungan terhadap komponen impor, sehingga dapat bersaing di pasar dunia. Di samping itu, pengembangan industri pertanian juga didasarkan pada kaidah keuntungan komparatif, yakni peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran, dan keterpaduan usaha, baik keterpaduan komoditi, usaha tani maupun wilayah. Implementasi dari hal itu, maka dalam pembangunan agroindustri, harus selalu berbasis pada petani dan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN), mengubah petani dari produsen menjadi suplier, dan pengembangan suatu ’farm gate system’.

Pembangunan berbasis petani dan GAPOKTAN. Permasalahan mendasar di tingkat petani dewasa ini adalah perihal kelembagaan usaha tani. GAPOKTAN merupakan rekayasa sosial ekonomi telah mandul dan tidak dipandang sebagai usaha badan usaha yang berbadan hukum, sebagaimana badan usaha berbadan hukum yang lain. Upaya memperkuat GAPOKTAN didasarkan pada fakta kecilnya skala usaha petani, sehingga GAPOKTAN dirancang sebagai lembaga yang merupakan integrasi suatu kelompok tani, dengan tanpa menghapus identitas dan kepemilikan petani secara individu. Jadi, ketika ada upaya untuk mengembangkan suatu ’badan usaha milik petani’, hal itu harus dilihat sebagai upaya untuk memperkuat kelembagaan usaha tani di tingkat petani itu sendiri. GAPOKTAN yang kuat diharapkan bisa memiliki unit usaha produksi, pengolahan, pemasaran, hingga urusan pembiayaannya. Di samping itu, GAPOKTAN yang kuat dan mandiri dapat menjadi partner pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya.

Dari produsen menjadi suplier. Dalam upaya peningkatan akses pasar, sangat diperlukan pemahaman menyeluruh tentang ’market driven’ bagi petani, terutama dalam hal perencanaan produksi, panen, pasca panen dan pengolahan –yang lebih diselaraskan pada permintaan pasar. Itulah sebabnya, ke depan akan dilakukan perubahan orientasi pembinaan dan reposisi petani, yang meliputi tiga hal utama. Pertama, petani diarahkan untuk tidak sekadar sebagai produsen semata, namun harus diarahkan untuk berperan sebagai ’suplier’. Dengan reposisi ini, petani dapat melakukan upaya-upaya untuk menghasilkan produk yang seusai dengan permintaan pasar, baik dari aspek kualitas, waktu penyediaan, sistem pengiriman, maupun efisiensi produksi yang berkaitan dengan harga produk. Kedua, petani dilibatkan secara aktif sebagai pelaku pasar di tingkat produsen, sehingga terbentuk dan berkembang suatu ’farm gate market system’. Ketiga, GAPOKTAN diarahkan untuk menjadi basis dan landasan dalam peningkatan nilai tambah, posisi tawar, dan usaha tani. Dengan reorientasi dan reposisi tersebut, diharapkan posisi tawar petani dapat menjadi lebih proporsional, yang pada akhirnya akan berdampak terhadap peningkatan produktifitas serta nilai tambah komoditi dalam negeri.

Farm gate market system. Struktur pasar yang dihadapi petani dewasa ini perlu kajian secara mendalam, sebagai pijakan dalam menganalisa manfaat agroindustri dalam suatu sistem pengembangan pertanian yang berukuran kecil seperti yang ada di Indonesia. Terdapat dua kegiatan agroindustri untuk dapat melayani petani dalam mengelola usaha taninya, yakni tindakan efisiensi dalam penggunaan input produksi, dan tingkat harga yang dapat diterima petani. Adapun struktur yang dihadapi petani saat ini terdiri dari pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Pasar persaingan yang disebut terakhir terbagi dalam pasar monopoli, oligopoli dan monopsoni.

Harga keseimbangan pada pasar yang bersaing sempurna tidak dapat dipengaruhi baik oleh produsen, dalam hal ini petani, maupun oleh lembaga-lembaga pemasaran yang lain, karena fungsi permintaan yang terjadi adalah elastisitas sempurna. Masalahnya adalah, dalam menjual produknya, petani selalu dihadapkan pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna yang bersifat monopsonistik ataupun oligopsonistik, sehingga pembentukan harga selalu ’di bawah’ harga keseimbangan yang ada. Struktur pasar yang dihadapi petani seperti itu bersumber pada lembaga pembeli, pengolah, dan pemasaran.

Dalam menyiasati sistem pasar seperti itu, strategi pengembangan agroindustri adalah dilakukan dengan pendekatan komoditi dalam ’vertikal market integration’, mulai penyaluran input, hingga pemasaran output, yang didukung oleh ’supporting system’ dan mekanisme yang memungkinkan petani dapat mengakses informasi pasar dan harga.

Adapun model interaksi antara petani dengan pihak industri pengolahan adalah model ‘core satelitte syatem’, yang mirip dengan pola perusahaan inti rakyat (PIR), namun dengan melibatkan sektor swasta dalam perusahaan inti (corporate core). Dalam model interaksi ini, pihak industri berhubungan dengan petani melalui sistem kontrak. Sistrem kontrak yang disepakati meliputi pembelian hasil-hasil pertanian, pertukaran input pertanian untuk jaminan penjualan bahan baku, dan adanya jaminan harga. Sistem ini dapat dijadikan sebagai usaha tani satelit (satelit farming) di sekitar perusahaan inti. Dengan sistem inti dan satelit antara industri dan petani seperti ini, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani melalui jaminan harga yang diterima, sekaligus menguntungkan bagi industri karena adanya jaminan kontinuitas pasokan bahan baku.

Cara lain agar pasar menjadi berpihak pada petani adalah dengan pengembangan sistem lelang komoditi. Dengan sistem ini, harga yang terbentuk sangat transparan, dan merupakan harga terbaik bagi petani. Pengembangan sistem lelang komoditi memerlukan dukungan sarana dan kelembagaan yang kuat, seperti sarana tempat lelang, pergudangan, dan transportasi yang memadai dan modern. Saat ini, model lelang komoditi seperti ini sudah diterapkan pada subsektor tanaman pangan.

Pembangunan agroindustri secara keseluruhan tentu tidak terlepas dari para pelaku yang berkecimpung di bidang ini. Sangat dibutuhkan sumber daya manusia yang handal untuk membangun agroindustri yang berdaya saing tinggi di tingkat global. Maka, introduksi teknologi melalui pelatihan, workshop dan magang, serta peningkatan akses permodalan menjadi sangat penting untuk ditingkatkan.

Prof. Dr. Djoko Said Damardjati, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian RI

Sejarah Usaha Peternakan Indonesia

Usaha peternakan di Indonesia telah dikenal sejak dahulu kala. Namun pengetahuan tentang kapan dimulainya proses domestikasi dan pembudidayaan ternak dari hewan liar, masih langka.

Adanya bangsa ternak asli di seluruh Indonesia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, ayam dan itik, memberikan petunjuk bahwa penduduk pertama Indonesia telah mengenal ternak sekurang-kurangnya melalui pemanfaatannya sebagai hasil perburuan.
Dengan kedatangan bangsa-bangsa Cina, India, Arab, Eropa dan lain-lain, maka ternak kuda dan sapi yang dibawa serta bercampur darah dengan ternak asli. Terjadilah kawin silang yang menghasilkan ternak keturunan atau peranakan dipelbagai daerah Indonesia.
Disamping itu, dalam jumlah yang banyak masih terdapat ternak asli. Dengan demikian terjadilah tiga kelompok besar bangsa ternak yaitu kelompok pertama asalah bangsa ternak yang masih tergolong asli, ialah ternak yang berdarah murni dan belum bercampur darah dengan bangsa ternak luar. Kelompok kedua adalah kelompok "peranakan", yaitu bangsa ternak yang telah bercampur darah dengan bangsa ternak luar. Kelompok ketiga adalah bangsa ternak luar yang masih diperkembang-biakan di Indonesia, baik murni dari satu bangsa atau yang sudah bercampur darah antara sesama bangsa ternak "luar" tersebut. Bangsa ternak demikian dikenal dalam dunia peternakan sebagai ternak "ras" atau ternak "negeri".
Pentahapan waktu didalam mempelajari sejarah usaha peternakan di Indonesia, disesuaikan dengan perjalanan sejarah, untuk melihat perkembangan usaha peternakan dalam kurun waktu suatu tahap sejarah. Didalam kurun waktu tersebut dapat dipelajari sejauh mana pemerintah dikala itu memperhatikan perkembangan bidang peternakan atau segi pemanfaatan ternak oleh penduduk diwaktu itu.
Sejarah usaha peternakan dibagi dalam dua tahap yaitu :
1. Zaman Kerajaan- Kerajaan Tua. 
Di zaman kerajaan-kerajaan tua di Indonesia, usaha peternakan belum banyak diketahui. Beberapa petunjuk   tentang manfaat ternak di zaman itu serta perhatian pemerintah kerajaan terhadap bidang peternakan telah muncul dalam pelbagai tulisan prasasti atau dalam kitab-kitab Cina Kuno yang diteliti dan dikemukakan oleh para ahli sejarah. Sangat menarik apa yang dikatakan oleh para ahli sejarah tentang kegunaan ternak di zaman-kerajaan Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram, Kediri, Sunda, Bali dan Majapahit.
Ternak dizaman kerajaan-kerajaan tua ini telah memiliki tiga peranan penting dalam masyarakat dan penduduk, yaitu sebagai perlambang status sosial, misalnya sebagai hadiah Raja kepada penduduk atau pejabat yang berjasa kepada raja. Peranan kedua adalah sebagai barang niaga atau komoiti ekonomi yang sudah diperdagangkan atau dibarter dengan kebutuhan hidup lainnya. Dan peranan ketiga adalah sebagai tenaga pembantu manusia baik untuk bidang pertanian maupun untuk bidang transportasi.
a. Tarumanegara
Kerajaan yang berpusat di Jawa Barat ini telah memberikan perhatian terhadap ternak, terutama ternak besar. Hal ini terdapat pada prasasti batu. Pada upacara pembukaan saluran Gomati yang dibuat sepanjang sebelas kilometer, Raja Purnawarman yang memerintah Tarumanegara dimasa itu telah menghadiahkan seribu ekor sapi kepada kaum Brahmana dan para tamu kerajaan.
b. Sriwijaya
Salah satu kegemaran penduduk Sriwijaya adalah permainan adu ayam. Oleh karena itu ternak ayam sudah mendapat perhatian. Disamping itu ternak babi juga banyak dipelihara oleh penduduk. Sebagaimana kita tahu bahwa kerajaan Siwijaya sangat luas daerah kekuasaannya dimasa itu. Terdapat petunjuk bahwa ternak kerbau dan kuda sudah diternakkan diseluruh kerjaan Sriwijaya, ternak sapi baru terbatas di Pulau Jawa, Sumatera dan Bali.
c. Mataram
Ternak sapi dan kerbau adalah dua jenis ternak besar yang memperoleh perhatian raja-raja Mataram pada abad ke VIII Masehi. Kedua jenis ternak ini memiliki hubungan erat dengan pertanian, disamping perlambang status. Pada tulisan prasasti Dinaya diceritakan bahwa diwaktu persemian sebuah arca didesa Kanjuruhan dalam tahun 760 M, Raja Gayana yang memerintah Kerajaan Mataram dimasa itu telah menghadiahkan tanah, sapi dan kerbau kepada para tamu kerajaan dan kepada kaun Brahmana. Terlihat disini bahwa hadiah kerajaan dalam bentuk ternak, memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara.
d. Kediri
Kediri adalah suatu kerajaan yang rakyatnya makmur dan sejahtera, karena kerajaan ini telah memajukan pelbagai bidang kehidupan termasuk peternakan. Hal ini terdapat didalam kitab Cina Ling-wai-tai-ta yang disusun oleh Chou-K'u-fei dalam tahun 1178 M. Dikatakan bahwa rakyat kerajaan Kediri hidup dalam kemakmuran dan kesejahteraan karena pemerintah Kerajaan memperhatikan dan memajukan bidang pertanian, peternakan, perdagangan dan penegakan hukum.
e. Sunda
Dimasa kerajaan Sunda, kita mulai mengetahui adanya tataniaga ternak. Hal ini disebabkan berkembangnya 6 kota pelabuhan didaerah kekuasaan Kerajaan Sunda, yaitu Bantam, Pontang, Cigede, Tamgara, Kalapa dan Cimanuk. Hasil pertanian termasuk peternakan sangat ramai. Semua ini diceritakan dalam buku petualang Portugis, Tome Pires. Dikatakan bahwa kemakmuran kerajaan Sunda terlihat dari hasil pertanian yang diperdagangkan dikota-kota pelabuhan, meliputi lada, sayur-mayur, sapi, sapi, kambing, domba, babi, tuak dan buah-buahan. Karena kerajaan Sunda juga memajukan kesenian dan permainan rakyat diwaktu itu, maka terdapat petunjuk bahwa permainan rakyat adu-domba telah berkembang dizaman kerajaan Sunda.
f. B a l i
Di zaman kerajaan Bali, kita mulai mengetahui adanya penggunaan tanah penggembalaan ternak atau tanah pangonan. Rakyat kerajaan Bali dizaman pemerintah raja Anak Wungsu (1049-1077 M), memohon kepada raja untuk dapat menggunakan tanah milik raja bagi tempat penggembalaan ternak, karena tanah milik mereka tak dapat lagi menampung ternak yang berkembang begitu banyak. Semua jenis ternak telah diternakkan oleh penduduk kerajaan Bali, yaitu kambing, kerbau, sapi, babi, kuda, itik, ayam dan anjing. Raja Anak Wungsu mengangkat petugas kerajaan untuk mengurus ternak kuda milik kerajaan (Senapati Asba) dan petugas urusan perburuan hewan (Nayakan). Dimasa kerajaan Bali inilah ternak sapi Bali yang sangat terkenal dewasa ini mulai berkembang dengan baik.
g. Majapahit
Di zaman kerajaan Majapahit kita mulai diperkenalkan dengan teknologi luku yang ditarik sapi dan kerbau. Penggunaan tenaga ternak sebagai tenaga tarik pedati dan gerobak meliputi ternak kuda, sapi dan kerbau. Hasil pertanian melimpah sehingga rakyat Majapahit hidup makmur dibawah pemerintahan raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada.
Kerajaan-kerajaan di Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa, yang berada dibawah kekuasaan Majapahit juga meniru tehnik pertanian sawah dengan penggunaan tenaga ternak dari kerajaan Majapahit. Namun penggunaan ternak sebagai tenaga tarik sudah meluas keseluruh daerah kekuasaan Majapahit lainnya di Nusantara.
Menjelang berakhirnya kerajaan Majapahit belum terdapat petunjuk bahwa teknologi luku dengan ternak sapi dan kerbau sebagai tenaga tarik sudah masuk ke Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Indonesia bagian timur lainnya. Maka dapatlah disimpulkan bahwa teknologi sawah dengan sapi dan kerbau sebagai penarik luku baru sempat disebarkan dipulau-pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa dizaman Majapahit.
Disamping penggunaan ternak dalam bidang pertanian, ternak gajah dan sapi adalah ternak "kebesaran", karena raja-raja Majapahit bila keluar istana dengan naik gajah kehormatan atau naik kereta kerajaan yang ditarik sapi, seperti yang ditulis dalam berita-berita Cina. Dengan demikian dapatlah dikatakan juga bahwa kereta kerajaan dengan kuda sebagai ternak tarik baru muncul pada kerajaan-kerajaan setelah zaman Majapahit.
2. ZAMAN PENJAJAHAN
Usaha peternakan dizaman penjajahan bangsa asing atas penduduk Nusantara, banyak terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk laporan maupun buku yang diterbitkan secara resmi. Pengaruh penjajahan dalam bidang peternakan banyak terdapat dalam masa penjajahan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), masa pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang. Laporan-laporan sejarah tentang pengaruh masa pemerintahan Inggris, Portugis dan bangsa lainnya terhadap bidang peternakan sampai saat ini belum banyak diketahui.
a. V.O.C
Perhatian VOC lebih banyak ditujukan pada perdagangan rempah-rempah yang sangat mahal dipasaran Eropa. Dimasa VOC (1602-1799) usaha peternakan kuda lebih banyak memperoleh perhatian. Hal ini penting bagi VOC untuk kepentingan tentara "Kompeni" diwaktu itu. Pada masa itu kuda Arab dan Persia dimasukkan dan disilangkan dengan ternak kuda asli.
Dari laporan pemerintah Hindia Belanda diketahui, bahwa dalam masa VOC ternyata usaha peternakan kuda juga mendapat perhatian raja-raja dan sultan-sultan untuk kepentingan laskar kerajaan dan untuk kepentingan kuda tunggangan raja sewaktu berburu hewan. Yang terkenal adalah peternakan kuda milik Sultan Pakubuwono III di Mergowati yang terdiri dari kuda Friesland, didirikan pada tahun 1651 tapi ditutup pada tahun 1800.
Perdagangan Ternak.
Perdagangan ternak dan pemotongan ternak cukup ramai di zaman VOC, terutama dipulau Jawa. Perdagangan ternak antar pulau begitu ramai, karena dizaman itu transportasi laut masih dengan kapal layar yang tidak memungkinkan pengangkutan ternak dalam jumlah yang banyak.
Peraturan Peternakan.
Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah VOC yaitu larangan terhadap pemotongan kerbau betina yang masih produktif dalam tahun 1650. Peraturan ini mula-mula diberlakukan dipulau Jawa, tetapi kemudian juga meliputi daerah-daerah pengaruh VOC lainnya di Nusantara dan diperluas dengan larangan pemotongan sapi betina yang masih produktif. Peraturan ini mula-mula bermaksud untuk menjamin populasi ternak yang terus bertambah dan dengan demikian menjamin pengadaan daging bagi tentara Kompeni di Pulau Jawa. Dalam tahun 1776, peraturan ini ditambah dengan larangan pemotongan ternak kerbau betina putih yang masih produktif.
b. HINDIA BELANDA
Pada awal pemerintah Hindia Belanda, bidang peternakan belum banyak menarik perhatian selain usaha peternakan kuda sebagai kelanjutan dari kegiatan utama VOC dalam bidang peternakan, untuk kepentingan militer, pengangkutan kiriman pos dan untuk memenuhi kegemaran pembesar-pembesar Belanda dan kaum bangsawan sebagai ternak rekreasi dan perburuan hewan.
Selama abad kesembilan belas dan abad kedua puluh sampai berakhirnya pemerintahan Hindia belanda, beberapa kegiatan dalam bidang peternakan perlu dicatat, karena memiliki hubungan dengan perkembangan usaha peternakan di zaman pemerintah Indonesia.
Kegiatan dalam bidang peternakan di zaman Hindia Belanda dapat dikelompokkan ke dalam 10 jenis, ialah :
1. Peningkatan mutu ternak;
2. Pengadaan Peraturan-peraturan;
3. Pameran ternak;
4. Pembangunan taman-taman ternak;
5. Pembentukan koperasi peternakan;
6. Sensus ternak;
7. Pengamanan ternak;
8. Pengadaan sarana distribusi dan pemotongan;
9. Produksi sera dan vaksin.
10. Pendidikan dan penelitian.
1. Peningkatan Mutu Ternak.
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam abad kesembilan belas, khususnya ilmu biologi dan mikrobiologi, ikut memberi pengaruh terhadap kegiatan dalam bidang peternakan. Pengaruh ilmu genetika yang dipelopori oleh Mendel (1822-1884) ikut mewarnai dunia peternakan, khususnya didalam kegiatan peningkatan mutu genetik ternak lokal di Nusantara. Demikian juga didalam bidang mikrobiologi yang dipelopori oleh Louis Pasteur (1822-1899) dan Robert Koch (1843-1920) mewarnai penanganan kesehatan ternak, produksi sera dan vaksin. Khususnya dalam bidang peningkatan mutu genetik ternak asli Nusantara, kegiatan persilangan dan seleksi dan penyebaran bibit ternak cukup banyak dilakukan.
Kuda - Persilangan antara ternak kuda asli dilakukan dengan mendatangkan kuda Arab dan Persia (1809) dan kuda Australia (1817). Dalam tahun 1870 dan 1880, kuda Australia didatangkan oleh pedagang ternak berkebangsaan Perancis dari kepulauan Mauritanius.
Untuk pulau Sumba hasil persilangan dengan kuda asli setempat, sangat terkenal dengan nama Kuda Sandel. Selain itu didirikan pusat-pusat pembibitan kuda di Cipanas (1820), Bogor (1938), Payakumbuh, Lubuk Sikaping dan Tarutung (1980), Padalarang
(1903), Padang Mangatas (1922), sebagai pengganti Payakumbuh yang ditutup pada tahun 1907, Malasaro Sulawesi Selatan (1874) dan pulau Rote (1841). Disamping itu di Cisarua-Bandung perusahaan swasta bibit ternak, "General de Wet" milik Hirchland dan Van Zyl yang didirikan pada tahun 1900, pada tahun 1921 ditunjuk sebagai rekanan bibit unggus kuda pemerintah.
Sapi - Keturunan Bos sondaicus yang semula tersebar dipulau Jawa, Madura, Sumatera, Bali dan Lombok, banyak memperoleh perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Selama abad kesembilan belas, persilangan ditujukan terutama terhadap perbaikan mutu sapi Jawa, yang jumlahnya terbanyak, namun berbadan kecil sehingga kurang cocok untuk ternak kerja.
Pada tahun 1806 Kontrolir Rothenbuhler di Surabaya, melaporkan bahwa pedagang ternak di Jawa Timur telah mendatangkan sapi pejantan Zebu dari India untuk dipersilangkan dengan sapi Jawa. Dalam tahun 1812 tercatat sapi bangsa Zebu yang didatangkan adalah Mysore, Ongol, Hissar, Gujarat dan Gir untuk dipersilangkan sengan sapi Jawa.
Walaupun persilangan antara sapi Jawa dengan bangsa sapi Zebu ini banyak memperlihatkan hasil yang baik, namun bukanlah suatu program resmi pemerintah Hindia Belanda, karena dalam abad ke sembilan belas belum ada dinas resmi yang menangani bidang peternakan.
Impor sapi Zebu dari India tetap dilanjutkan oleh para pengusaha di Jawa Timur dari tahun 1878 hingga tahun 1897, disaat mana impor dihentikan, karena berjangkitnya wabah pes ternak di India. Pada waktu ini keturunan hasil persilangan telah banyak dengan bentuk tubuh yang lebih besar dari sapi Jawa.
Sementara itu dalam tahun 1889, Residen Kedu Selatan, Burnaby Lautier dengan bantuan dokter hewan Paszotta melancarkan aksi kastrasi secara besar-besaran terhadap ternak jantan lokal di Bagelen. Tujuannya, agar pejantan Zebu saja yang digunakan sebagai pemacak. Walaupun usaha ini ditentang oleh pemerintah pusat Hindia Belanda, pada tahun 1890 asisten residen Schmalhausen mengikuti jejak Lautier untuk daerah Magetan di Jawa Timur. Ia juga menganjurkan penanaman rumput benggala untuk makanan ternak. Usaha persilangan sapi Jawa dengan sapi Madura, dilaksanakan oleh kontrolir Van Andel, dibantu oleh dokter hewan Bosma, di daerah Pasuruan Jawa Timur pada tahun 1891-1892.
Persilangan secara berencana dan besar-besaran barulah dilaksanakan setelah dinas resmi yang menangani bidang peternakan dibentuk pada tahun 1905 yaitu Burgelijke Veeatsenijkundige Diens (BVD) sebagai bagian dari Departemen van Landbaouw atau Departemen Pertanian. BVD telah melaksanakan peningkatan mutu sapi Jawa dengan pelbagai kegiatan ialah :
Peningkatan dengan pejantan Jawa
Dari tahun 1905 sampai 1911 dilakukan penyebaran sapi jantan Jawa yang baik ke daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam tahun 1911 usaha ini dihentikan, oleh karena para petani menginginkan ternak sapi yang lebih kuat dan lebih besar untuk ternak kerja.
Persilangan dengan Sapi Madura
Usaha ini sudah dimulai di akhir abad ke sembilan belas oleh Van Andel. BVD juga melanjutkan kegiatan persilangan ini di pulau Jawa sampai tahun 1921. Pada saat ini usaha ini dihentikan, karena kurang memenuhi harapan para petani terhadap ternak kerja.
Persilangan dengan Sapi Bali
Penduduk Jawa Timur terutama di darha keresidenan Banyuwangi telah lama mengenal sapi Bali sebagai ternak kerja yang cukup baik. Usaha persilangan sapi Jawa dengan pejantan Bali dimulai tahun 1908 di Pulau Jawa. Tapi usaha inipun dihentikan pada tahun 1921, karena angka kematian sapi Bali dan keturunannya yang sangat tinggi oleh penyakit darah.
Persilangan dengan Sapi Zebu
Pengusaha perkebunan di Sumatera Timur telah banyak mendatangkan sapi Zebu untuk ternak penarik gerobak dan ternak perah di akhir abad kesembilan belas. Ternyata kemudian ternak sapi tersebut adalah sapi Hissar yang didatangkan ke Pulau Jawa pada tahun 1905 dan dinamai Sapi Benggala. Namun sapi Hissar yang tiba di pulau Jawa tidak memuaskan. BVD dalam tahun 1906 dan 1907 telah mendatangkan sapi Zebu dari India. Dokter hewan Van Der Veen yang diserahi tugas ke India, ternyata telah memilih Sapi Mysore, yang kurang memenuhi harapan karena kematian yang tinggi akibat penyakit piroplasmosis dan ternak jantannya sangat agresif.
Pada pembelian di tahun 1908 oleh BVD tiga bangsa sapi dipilih, ialah Ongol, Gujarat dan Hissar. ternyata Sapi Ongol berkembang baik di Pulau Jawa, Sapi Gujarat baik di pulau Sumba dan Sapi Hissar baik di pulau Sumatera. Pada tahun 1909 dan 1910 ternyata BVD memutuskan untuk lebih banyak membeli Sapi Ongol. Sampai tahun 1911 perkembangan sapi Ongol lebih baik, sehingga diputuskan memilih sapi Ongol untuk perbaikan mutu Sapi Jawa.
Dari sinilah muncul untuk pertama kalinya Program Ongolisasi yang dimulai pada tahun 1915, disaat mana pembelian dari India dihentikan sama sekali. Semua ternak pembelian terakhir ditempatkan di pulau Sumba. Dikemudian hari ternyata Sapi Ongol dan Gujarat di Sumba berkembang sangat baik, sehingga pulau Sumba menjadi sumber bibit murni sapi Ongol dan Gujarat yang kemudian dikenal sebagai sapi Sumba Ongol (SO).
Persilangan dengan Sapi Eropa
Tiga bangsa sapi Eropa yang banyak digunakan untuk persilangan adalah Here ord, Shorthorn (Australia) dan Fries Holland (Belanda). Impor Sapi Hereford dan Shorthorn kemudian dihentikan karena berjangkitnya penyakit paru-paru ganas di Australia. Sapi Fries Holland sendiri banyak disilangkan dengan sapi Jawa dan sapi Ongol terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, Karena keturunannya memiliki sifat yang baik.
Sumba Kontrak.
Salah satu bentuk penyebaran bibit ternak sapi Ongol di dalam program ongolisasi, ialah Sumba Kontrak.
Sumba Kontrak adalah penempatan dan penyebaran sapi bibit ongol di pulau Sumba yang dilaksanakan dalam bentuk meminjamkan 12 induk dan satu pejantan ongol kepada seorang peternak.
Pengembalian pinjaman dilakukan oleh peminjam dengan mengembalikan ternak keturunan dalam jumlah, umur dan komposisi kelamin yang sama dengan jumlah ternak yang dipinjam, ditambah dengan satu ekor keturunan (jantan atau betina) untuk setiap tahun selama peternak belum melunasi pinjamannya. Untuk akad pinjaman ini, peternak menandatangani suatu kontrak dengan pemerintah, yang kemudian dikenal dengan Sumba Kontrak. Jumlah ternak awal disebut Koppel, sehingga kemudian hari muncul juga istilah Sapi Koppel. Sumba kontrak secara resmi dimulai pada tahun 1912.
Sistim penyebaran sapi bibit ini tidak hanya berlaku dipulau sumba, tapi diperluas ke pulau-pulau lain dan meliputi pelbagai jenis ternak : Sapi Bali, Sapi madura, Kambing, Domba dan Babi dengan jumlah ternak yang tidak sama untuk satu koppel.
Dalam masa dua puluh tahun (1920 - 1940) penyebaran ternak bibit, terjadi dua usaha penting yaitu :
1. Penyebaran ternak bibit antar pulau dan antar daerah, yaitu penyebaran sapi Ongol dan peranakan Ongol dari pulau Jawa ke Sumbawa, Sulawesi, Kalimantan Barat dan Sumatera. Penyebaran sapi Bali dari pulau Bali ke Lombok, Timor, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Penyebaran sapi Madura ke pulau Flores dan kalimantan Timur.
2. Penyebaran ternak bibit dan bibit tanaman makanan ternak secara lokal disekitar taman-taman ternak dipulau Jawa dan Sumatera.
K e r b a u
Ternak kerbau lokal yang dikenal sebagai Kerbau Lumpur sudah sejak dahulu terdapat diseluruh nusantara. Dengan kedatangan bangsa India ke Sumatera, dibawa juga kerbau Murrah yang kini masih banyak terdapat didaerah Sumatera Utara dan Aceh.
K a m b i n g
Kambing lokal atau kambing kacang telah ada di seluruh Nusantara. Didalam zaman Hindia Belanda didatangkan juga kambing bangsa India (Ettawah) yang merupakan kambing perah dan disebarkan hampir diseluruh pantai utara pulau Jawa.
Bebarapa bangsa kambing lain juga didatangkan yaitu : Saanen. Namun persilangan yang terkenal kini adalah kambing Peranakan Ettawah (PE).
D o m b a
Ternak domba dibagi dua bangsa yang terkenal yaitu domba ekor gemuk dan domba lokal lainnya, yang tersebar diseluruh Nusantara. Semua bangsa domba ini adalah tipe daging. Dizaman Hindia Belanda didatangkan bangsa domba tipe wol misalnya Merino Rambo illet, Romney dan tipe daging misalnya Corridale dan Soffolk. Persilangan bangsa domba wol dan daging dengan domba lokal Priangan menghasilkan domba yang sangat terkenal diwaktu ini ialah domba Garut.
B a b i
Ternak babi lokal tersebar diseluruh Nusantara.
Dizaman Hindia Belanda didatangkan babi ras bangsa Eropah yaitu York shire, Veredelde Deutchland Landras (VDL), Tamworth, Veredelde Nederlandsche Landras (VNL), Saddle Back, Duroc Jersey, Berk shire.
Sapi Perah
Pada permulaan abad ke 20 telah dapat perusahaan sapi perah dipinggiran kota-kota besar di Jawa dan Sumatera. Kebanyakan perusahaan adalah milik bangsa Eropah, Cina, India dan Arab. Hanya sebagian kecil milik penduduk asli. Bangsa sapi perah yang ada ialah Fries Holland, Jersey, Ayrshire, Dairy Shorthor dan Hissar. Kemudian ternyata yang terus berkembang adalah fries Holland. Bangsa sapi Hissar masih terus diternakkan didaerah Sumatera bagian Utara dan Daerah Istemewa Aceh.
Ayam
Disamping ayam kampung, di zaman Hindia Belanda telah dipekenalkan ayam ras tipe petelur misalnya leghorn dan ayam ras tipe pedaging misalnya Rhode Island Red dan Australorp. Persilangan Autralorp dengan ayam kampung yang terkenal adalah Ayam kedu.
Itik
Di samping itik lokal, di zaman Hindia Belanda telah didatangkan bangsa itik Khaki Campbell dan itik Peking.
Bangsa itik lokal yang terkenal : adalah itik Tegal, itik Karawang dan itik Alabio.
Aneka Ternak
aneka ternak misalnya ternak kelinci, burung puyuh dan burung merpati, belum memperoleh perhatian pemerintah Hindia Belanda. Kelinci hanyalah digunakan di balai-balai penelitian sebagai hewan percobaab. disinilah asalnya istilah : Kelinci percobaan.
2. Pengadaan Peraturan.
Peraturan-peraturan yang diterbitkan selama masa Hindia Belanda, terbanyak setelah dibentuk badan resmi yang menangani bidang peternakan dalam tahun 1905. Semua peraturan tersebut dapat dikelompokan kedalam 4 kelompok, yaitu :
(1) Peraturan yang menyangkut pengaman ternak
(2) Peraturan yang menyangkut produksi, populasi dan sarana produksi ternak
(3) Peraturan yang menyangkut pemotongan ,pajak potong, distribusi, tata niaga dan sarana-sarana peternakan.
(4) Peraturan yang menyangkut bahan-bahan veteriner dan kesehatan masyarakat Veteriner.
3. Pameran Ternak
Pameran ternak diadakan untuk pertama kali di Blora (1876). Kemudian di Surabaya(1878), Blora(1887), Bandung(1899). Pada tahun 1906 secara resmi diadakan oleh BVD di Kebumen dan Bandung.Tujuannya lebih banyak bersifat penyuluhan kepada para peternak, sehingga ternak yang unggul dapat dijual atau dibeli dengan harga premium.
4. Taman Ternak
Taman ternak pertama didirikan di Karanganyar di desa Pecorotan pada tahun 1909, namun pada tahun 1912 dipindahkan ke desa Jiladri. Kemudian menyusul pendirian taman ternak di Bandar (1916), Purworejo(1918), Pengarasan Tegal(1920), Kedu Selatan, Rembang,Padang Mangatas(1922).
Taman ternak ini merupakan sumber ternak bibit dan sumber bibit makanan ternak. Beberapa pusat pembibitan ternak kuda dan sapi di Sumatra, kemudian juga diperluas menjadi taman ternak.
5. Koperasi Peternakan
Koperasi peternakan dianjurkan, terutama didalam pembelian pejantan bersama. Koperasi peternakan yang pertama didirikan di Salatiga, Kedu dan Tasikmalaya.
6. Sensus Ternak
Dalam tahun 1867 pemerintah di Jawa dan Madura diwajibkan mengadakan sensus ternak di daerahnya masing-masing. Sensus ternak secara resmi mulai diadakan pada tahun 1905.
7. Pengamanan Ternak
Pengaman ternak merupakan lanjutan dan perluasan kegiatan pemerintah VOC.
Sebelum BVD dibentuk pada tahun 1905, kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit, dilakukan oleh dokter-dokter hewan yang didatangkan sejak tahun 1820 sebagai penasehat pemerintah. Namun sejak BVD lahir, pencegahan dan pemberantasan penyakit secara resmi ditangani pemerintah Hindia Belanda.
8. Pengadaan Ternak
Sarana peternakan yang dimaksudkan disini adalah : tanah pangonan, pasar hewan, karantina, rumah potong hewan, kapal hewan.
9. Produksi Sera dan Vaksin
Produksi Sera dan Vaksin untuk ternak terutama diadakan oleh Balai Penyelidikan Penyakit Hewan yang didirikan di Bogor.
10. Pendidikan dan Penelitian
Sekolah dokter hewan pertama didirikan pada tahun 1860 di Surabaya, tapi karena kurang peminat, maka ditutup pada tahun 1875. Baru pada tahun 1907 dibuka kembali di Bogor. Sekolah Menengah Kehewanan didirikan di Malang dan Bogor. Pendidikan Mantri Hewan ditangani langsung oleh Jawatan Kehewanan diwaktu itu.
Penyelidikan Penyakit Hewan ditangani dengan dibangun Balai Besar Penyakit Hewan dan Balai Penelitian Peternakan di Bogor, Balai Penyelidikan Penyakit Mulut dan Kuku di Surabaya.

 
Design by Klinik Agri Team | Bloggerized by Kecamatan Ngadirojo 2012 - Premium Blogger Themes | cheap international calls